SOLOPOS.COM - Petani hutan atau sanggem di Desa Pitu, Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur melakukan aksi protes terkait rencana rehabilitasi hutan yang dilakukan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis (9/11/2023). (Solopos.com/Yoga Adhitama)

Solopos.com, NGAWI — Ratusan petani hutan atau yang biasa disebut sanggem di Desa Pitu, Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, melakukan aksi unjuk rasa terkait rencana rehabilitasi hutan yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis (9/11/2023). Aksi protes tersebut diwarnai isak tangis warga yang khawatir ladang mata pencahariannya tergusur.

Aksi protes tersebut dipicu karena para petani hutan merasa kebijakan rehabilitasi itu muncul secara tiba-tiba. Pasalnya sejak dicanangkan 2019 lalu, program rehabilitasi oleh UGM itu tidak ada kejelasan.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Para pesanggem juga menyayangkan minimnya sosialisai terkait rencana program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) tersebut. Sebab, saat ini para petani hutan sudah mulai membuka lahan dan menanami lahan tersebut dengan tanaman tebu.

Pesanggem tidak terima jika secara mendadak mereka harus membersihkan lahan yang baru ditanami itu untuk dijadikan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang dikelola pihak UGM.

Istoni salah satu perwakilan petani hutan mengaku kecewa dengan keputusan pihak UGM secara mendadak dan tanpa ada sosialisasi melakukan program itu. Menurutnya masyarakat sudah sejak dulu menggarap lahan tersebut tanpa ada konflik. Selain itu keputusan secara mendadak mengambil alih lahan dinilai merugikan para petani. Pasalnya, para petani sudah mengeluarkan sejumlah biaya yang digunakan untuk menggarap lahan tebu tersebut.

“Belum ada hukum tetap, makanya masyarakat masih mengambang, harapan masyarakat harus ada surat perjanjian yang sifatnya mengikat. Kami sudah sejak kecil menggarap ini, sudah berpuluh-puluh tahun, UGM baru 2019 masuk sini,” harapnya.

Para petani sebenarnya sudah rela melepaskan lahan tebu yang bertahun-tahun mereka garap tersebut. Namun, para petani meminta waktu selama tiga tahun untuk menunggu tanaman tebu yang baru ditanam tersebut dapat dipanen. Mereka tidak mau merugi karena terlanjur mengeluarkan biaya penggarapan lahan tebu tersebut.

“Kami minta kepada UGM untuk meminta waktu selama tiga tahun supaya tananam tebu kami panen dulu, setelah itu kita baru bisa bicara tentang kesepakatan kelanjutannya,” ujarnya.

Aksi protes tersebut sempat diwarnai isak tangis seorang anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sri Wahyuni. Sebab, apabila dikelola pihak lain para petani tidak lagi bisa menggarap lahan hutan milik negara itu. Padahal, mata pencarian mereka hanya sebagai petani.

“Tuntutan petani sebenarnya sederhana, sebelumnya sudah ada pengukuran dari UGM. Dan ada penawan pada saat sosialisasi tahun 2020 namun belum ada titik temu, akhirnya masyarakat mengambang,” katanya.

Sri Wahyuni menambahkan, masyarakat juga kecewa dengan pihak UGM lantaran sebagian lahan yang sudah dikeloka UGM tidak dimanfaatkan secara maksimal. Setelah dilakukan rehabilitasi, pihak UGM terkesan membiarkan pohon yang telah ditanam, akibatnya banyak pohon yang mati.

“Sebelumnya sebagian lahan tersebut juga sudah dikelola oleh UGM namun setelah ditanam dibiarkan begitu saja tanpa ada perawatan. Tentu itu membuat masyarakat merugi karena sudah merelakan tanaman mereka digusur namun ketika ditanami tidak dirawat,” jelasnya.

Sementara itu, pengelola KHDTK UGM, Slamet Rianto, menjelaskan tujuan pengelolaan nantinya sebagai upaya pengembalian atau rehabilitasi serta mengembalikan fungsi ekologis dan ekosistem hutan. Nantinya pihak UGM akan melakukan penanaman pohon untuk mengembalikan fungsi hutan. Meski begitu, pohon yang ditanam memiliki nilai ekonomi dan masyarakat dapat memanfaatkan lahan di bawah tegakan untuk pertanian.

“Meski begitu pohon yang ditanam memiliki nilai ekonomi dan masyarakat dapat memanfaatkan lahan dibawah tegakan untuk pertanian,” kata Slamet.

Sesuai rencana, total luas yang akan dilakukan RHL oleh UGM mencapai 800 hingga 1.200 hektare. Namun, dari hasil pertemuan tadi masih belum ada titik temu antara pihak petani hutan dan KHDTK UGM.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya