SOLOPOS.COM - Sejumlah siswa MIN Sidoharjo saat mengikuti simulasi bencana alam, Rabu (7/9/2016). (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

Simulasi bencana Pacitan, mitigasi bencana alam sangat penting diberikan bagi masyarakat yang berada di daerah rawan.  

Madiunpos.com, PACITAN — Nabila Putri Wiyasti beserta ratusan siswa Madrasah Ibtidaiah (MI) Negeri Sidoharjo, Pacitan, terlihat panik dan dengan cepat berlindung di bawah meja saat ada sirine tanda bencana alam berbunyi, Rabu (7/9/2016) pagi. Saat itu, terjadi gempa berkekuatan 9,2 skala richter di perairan Mentawai dan getarannya dirasakan hingga Pacitan.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Setelah gempa bumi berhenti, seluruh siswa beserta guru langsung keluar ruang dan berlari menuju ke perbukitan yang berjarak sekitar 500 meter dari sekolah. Ada beberapa siswa yang terluka karena tertimpa bangunan, sejumlah siswa pun menolong dengan memberikan pertolongan pertama pada siswa yang terluka.

Suasana yang riuh dan kalut membuat sejumlah siswa harus berlarian untuk menuju ke lokasi yang ditetapkan sebagai titik aman. Sesekali seorang guru memberi aba-aba kepada siswanya untuk mempercepat langkah kakinya.

Itulah salah satu aktivitas siswa di MIN Sidoharjo yang sedang melaksanakan kegiatan simulasi bencana gempa dan tsunami yang diselenggarakan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pacitan. BPBD Pacitan ditunjuk bersama tiga kota/kabupaten lain se-Indonesia, yaitu Padang, Pangandaran, dan Pandeglang untuk mengikuti Indian Ocean Wave Exercise (IOWave) 2016. Kegiatan IOWave ini juga diikuti 28 negara yang ada di sepanjang tepian Samudera Hindia.

Negara dan kabupaten yang mengikuti kegiatan IOWave ini merupakan wilayah terdampak ketika terjadi pergerakan lempeng Indo-Australia. Ketika gempa yang terjadi di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, berkekuatan 9,2 SR, maka hampir seluruh daerah yang berada di pesisir pantai selatan Jawa akan terkena dampaknya. Untuk itu, simulasi bencana ini dilaksanakan secara bersama-sama di wilayah yang terdampak.

Bagi Nabila yang merupakan siswi kelas IV MIN Sidoharjo ini, simulasi bencana tersebut sangat bermanfaat dan penting bagi masyarakat. Kenapa penting, menurut Nabila, Pacitan yang berada di wilayah pesisir pantai selatan menjadi salah satu daerah rawan bencana. Sehingga, masyarakat dan pelajar perlu untuk diberikan pemahaman dalam menghadapi bencana alam.

“Tadi saat ada guncangan, kami berlindung di bawah meja. Setelah ada peringatan dari guru dan sirine berbunyi yang menandakan akan ada tsunami, kami langsung lari keluar ruang untuk mencari tempat yang aman,” terang dia.

Siswi lainnya, Jasmin Aliya Azzahra, mengatakan saat simulasi bencana itu, dirinya juga dilatih untuk memberikan pertolongan pertama bagi teman yang sakit atau terluka. Menurut dia, simulasi bencana tersebut sangat bermanfaat untuk mengingatkan kembali bahwa bencana alam bisa terjadi kapan saja dan masyarakat harus siap menghadapinya.

Kepala BPBD Pacitan, Tri Mudjiharto, menyampaikan simulasi bencana dalam program IOWave merupakan salah satu bentuk kegiatan mitigasi bencana yang diberikan kepada masyarakat. Berbagai skenario dilakukan dalam kegiatan mitigasi bencana tersebut.

Dalam simulasi bencana tersebut diikuti sekitar 2.000 orang dari berbagai lembaga sekolah dan swasta, antara lain MIN Sidoharjo, SDN 4 Sidomulyo, PT PPIS, dan PLTU Sudimoro. “Seluruh peserta simulasi melakukan berbagai tindakan saat terjadi gempa dan tsunami, seperti berlindung di bawah meja dan kemudian lari ke tempat yang lebih tinggi,” kata Tri.

Bagi daerah rawan bencana seperti Pacitan, mitigasi bencana merupakan salah satu hal yang penting dilakukan. Mitigasi bencana merupakan salah satu tindakan yang dilakukan dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kebencanaan.

Mitigasi bencana juga melatih masyarakat menghadapi bencana yang kapan saja bisa terjadi. Yaitu dengan adanya simulasi ini, dengan harapan bisa meminimalisasi jatuhnya korban bencana. Selain itu, masyarakat langsung bisa mengambil sikap saat terjadi bencana yaitu dengan mencari tempat-tempat yang aman.

Tri menyampaikan masyarakat juga diimbau untuk mengembangkan kearifan lokal dalam menangani masalah kebencanaan. Salah satunya dengan menyiapkan kentongan di setiap pos ronda, alat kentongan ini dibunyikan saat ada bencana datang. Sehingga bisa memberikan informasi kepada masyarakat dan bisa segera menyelamatkan diri.

Menurut dia, kentongan merupakan alat warisan dari nenek moyang yang sangat bermanfaat dan tidak terpengaruh pada sumber energi listrik. Jadi, ketika bencana menerjang dan seluruh instalasi listrik padam, kentongan masih bisa digunakan untuk memberikan informasi kebencanaan kepada masyarakat.

“Selain alat tradisional seperti kentongan juga ada alat modern seperti sirine yang dibunyikan ketika ada bencana alam. Selain itu, kami juga memanfaatkan media sosial untuk memberikan informasi mengenai kebencanaan kepada masyarakat,” terang Tri.

Bagi Tri, mitigasi bencana merupakan salah satu upaya yang sangat penting dilakukan bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Karena ketika bencana menerjang, masyarakat sudah mengetahui harus mengambil tindakan seperti apa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya