SOLOPOS.COM - Dua bakal calon presiden terpopuler, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, bertemu dalam agenda kunjungan kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kebumen, Jawa Tengah, Kamis (9/3/2023). (Istimewa)

Solopos.com, JEMBER — Calon Presiden (Capres) PDIP, Ganjar Pranowo dan Capres Partai Gerindra, Prabowo Subianto dinilai sama-sama memiliki peluang untuk duet atau duel di Pilpres 2024.

Nantinya, posisi duel atau duetnya Ganjar dan Prabowo juga bakal ditentukan apakah laju elektoral Anies Baswedan makin tak terbendung atau justru kian merosot jelang Pemilu 2024.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Hal itu diungkapkan pengamat politik dari Universitas Jember, Dr. Muhammad Iqbal, seperti dikutip dari Antara, Senin (24/4/2023). Kemungkinan duet Ganjar dengan Prabowo menyusul pernyataan Presiden Joko Widodo saat Lebaran di Solo yang menyebut nama Prabowo bisa saja menjadi cawapres Ganjar.

“Tentu jika Prabowo rela downgrade dirinya jadi wapresnya Ganjar,” kata pakar komunikasi tersebut.

Antara Ganjar dengan Prabowo juga bisa berduel di Pilpres 2024 karena muncul realitas politik dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang akhirnya memutuskan Ganjar sebagai capres yang diusung PDIP. Padahal Presiden Jokowi lebih sreg menyebut Prabowo sebagai presiden penerusnya.

Di samping itu, juga dipengaruhi elektoral Anies Baswedan. Jika pada momentum bulan-bulan menjelang pendaftaran capres pada 19 Oktober 2023, elektabilitas Anies makin menguat dan terus mengancam posisi capres PDIP serta Gerindra, maka sangat mungkin terjadi duet Ganjar-Prabowo melawan Anies.

Sebaliknya, jika elektabilitas Anies kian merosot dan dianggap bukan lagi ancaman. Kontestasi pilpres akan diwarnai ‘drama’ duel Ganjar dan Prabowo.

“Kalau saya membaca, apapun arah duet atau duel antara Ganjar dan Prabowo di Pilpres 2024 itu sejatinya tidak ditujukan untuk membangun kematangan esensi demokrasi. Tapi lebih condong pada politik transaksional untuk semata meraih jabatan kekuasaan atau mengamankan pembangunan proyek strategis nasional Presiden Jokowi,” katanya.

Muhammad Iqbal mengatakan indikator esensi demokrasi, menciptakan keadilan sosial dan supremasi penegakan hukum. Sedangkan indikator lainnya, terbentuknya proses check and balances melalui kekuatan oposisi di parlemen, menguatnya pelembagaan antikorupsi dan pelindungan pada keadilan HAM, lingkungan dan kebebasan kritik masyarakat sipil.

Selama dua periode pemerintahan Jokowi terbukti oleh sejumlah laporan lembaga nasional dan internasional mengalami kemerosotan indeks pada sejumlah indikator tersebut. Misalnya, masifnya persekusi, kriminalisasi dan ketidakadilan penegakan hukum, serta maraknya pembungkaman kritik dari masyarakat.

Parahnya lagi, nyaris tidak terjadi kekuatan oposisi parlemen setelah Jokowi membentuk koalisi besar partai politik di parlemen dengan menawarkan posisi kekuasaan di kabinet pemerintahan.

“Maka, arah duet atau duel antara Ganjar dan Prabowo sejatinya hanyalah strategi transaksional politik untuk melanggengkan status quo,” kata pengajar ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember tersebut.

Ia mengatakan pada konteks itulah, tesis ilmuwan politik Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menjadi penting menandai lonceng kematian demokrasi Indonesia karena para elite politik kekuasaan secara perlahan merobohkan sendi, esensi, dan proses demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya