SOLOPOS.COM - Bramantyo Prijosusilo (JIBI/Solopos/Aries Susanto)

Pernikahan peri dengan manusia di Ngawi yang menghebohkan kembali diangkat ke publik. Inilah sosok pencetus ide kontroversial itu.

Madiunpos.com,NGAWI – Paras lelaki asli Ngawi ini berewok lebat. Posturnya jangkung. Pakaiannya khas Jawa pedesaan, lengkap dengan kain udeng yang melilit di kepalanya.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Ketika Madiun Pos bertamu ke kediamannya terasa sekali hawa yang teduh. Pekarangannya luas. Pohon-pohon tua menjulang, aneka tanaman obat, tanaman dapur, serta tanaman rambatan menjalar alami. Rumahnya pun natural tempo dulu tanpa begitu banyak renovasi yang berarti.

“Ini rumah warisan orang tua turun temurun. Di sini kami sehari-hari tinggal bersama anak istri sambil berkreasi bersama warga setempat,” ujar lelaki berdarah Ausralia-Indonesia ini saat berbicang di kediamannya di Desa Sekaralas, Kecamatan Widodaren, Ngawi,Rabu (3/6/2015).

Bramantyo Prijosusilo, demikian namanya. Nama Bramantyo mulai dikenal luas di akar rumput dan kaum seniman ketika ia mempersembahkan sebuah hapening art (seni kejadian) cukup kontroversial, yakni pernikahan peri dengan manusia Oktober 2014 lalu.

Acara yang digelar di kediamannya itu tak disangka mampu membius ratusan ribu masyarakat luas. Para pengunjung bukan saja kaum seniman. Lebih dari itu, mereka kebanyakan kaum awam dan anak-anak dari berbagai daerah dan rela berbondong-bondong menyaksikan acara itu.

“Jalanan saat itu sampai macet berpuluh-puluh kilometer. Parkiran yang dikelola masyarakat penuh sesak. Bahkan, ada satu parkiran menghasilkan Rp30 juta,” kisah Bram.

Inilah barangkali satu-satunya seni pertunjukkan yang mampu menyedot penonton terbanyak sepanjang sejarah di Nusantara. Pementasan ini juga barangkali satu-satunya pertunjukkan yang menguras emosi dan penasaran masyarakat luas.

“Tujuan pementasan kita sebenarnya ialah untuk memperkuat nilai budaya masyarakat. Kita selama ini selalu mendeskreditkan alam dan mahluk lain. Melalui seni pertunjukkan ini, kita; manusia, ingin mengangkat kembali harkat alam dan mahluk lain yang lebih terhormat,” paparnya.

Menurut Bram, sapaan akrabnya, saat ini banyak mitologi di Jawa yang diselewengkan. Mitologi itu dihidup-hidupkan, diuri-uri, namun untuk sebuah tujuan yang kurang tepat, seperti mitologi Nyai Roro Kidul untuk sebuah kekuasaan, mitologi Joko Tarub untuk penggambaran perempuan yang lemah, atau kisah para Danyang hanya sebatas menakut-nakuti.

“Nah, kita ingin melakukan dekontruksi atas pemahaman nilai-nilai itu semua. Kita ingin, membangun narasi mitologi bahwa mahluk lain dan manusia bisa bekerjasama dalam menjaga alam. Bahkan, manusia itu bisa memberi pertolongan kepada mahluk halus, bukan sebaliknya, manusia meminta pertolongan kepada Danyang,” ungkap jebolan Bengkel Teater asuhan Rendra.

Hampir sembilan bulan pascapernikahan peri dengan manusia, Bram kembali melanjutkan pementasannya. Kali ini, berkisah tentang permohonan Peri Setyowati untuk dibangunkan kembali rumahnya di Sendhang Margo dan Ngiyom di alas Begal, Sabtu-Minggu (6-7/6). (bersambung )

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya