SOLOPOS.COM - Sendang yang menjadi kediaman Peri Setyowati telah dipasangi kain mori untuk persiapan membangun rumah peri. (istimewa)

Pernikahan manusia dengan peri bikin heboh. Maklum saja, peri selama ini dianggap hantu yang membahayakan.

Madiunpos.com, SOLO — Fenomena hantu tampaknya masih marak diperbincangkan. Pemberitaan mengenai pernikahan manusia dengan peri di Ngawi adalah salah satu isu fenomenal berkaitan dengan hantu itu. Menakutkan? Ada cara mengatasinya…

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Sebagaimana diberitakan Solopos.com, Selasa (26/5/2015), Ibnu Sukodok alias Mbah Kodok, 8 Oktober 2014 silam, mengaku telah memperistri peri bernama Roro Setyowati yang tinggal di Alas Ketonggo, Paron, Ngawi, Jawa Timur. Tentu saja bikin heboh, karena berdasarkan mitologi Jawa, peri adalah salah satu perwujudan hantu.

Tak wajar manusia menikahi hantu. Terlebih lagi, peri diyakini sebagai hantu dari roh wanita yang tewas secara tak wajar akibat pembunuhan oleh pria. Ia senantiasa berupaya membalas dendam atas kematiannya terhadap para pria.

Menaktukan? Bukan hanya menakut-nakuti, mitologi Jawa juga memiliki sejumlah cara untuk menghindari pikiran dan perasaan takut terhadapnya.

Inilah Hantu
Wikipedia.org mencatat setiap agama dan budaya memiliki pendapat masing-masing tentang definisi hantu. Sebagian orang bahkan menganggap hantu sebagai urban legend, yakni kisah masa kini yang tidak didukung oleh bukti kuat dan biasanya mengandung unsur humor, moral dan horor.

Selain sebagai urband legend, ada pula yang beranggapan bahwa hantu hanyalah penggambaran fiktif dalam cerita rakyat, legenda, atau sekadar pemberitaan dari mulut ke mulut yang sulit dibuktikan kebenarannya. Oleh karena tidak adanya bukti kuat tentang sosok hantu itulah, ia sering kali direpresentasikan (digambarkan) misterius, mengerikan dan menakutkan.

Jika sebagian orang menganggap hantu hanya rekaan belaka, lain halnya dalam mitologi Jawa. Masyarakat Jawa meyakini hantu sebagai makhluk supranatural, sebagaimana dipaparkan Suwardi Endraswara, guru besar Pendidikan Bahasa Jawa pada Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam bukunya yang berjudul Dunia Hantu Orang Jawa: Alam Misteri, Magis, dan Fantasi Kejawen (2004).

Menurutnya, orang Jawa mengakui bahwa di samping mahkuk yang tampak, ada pula makhluk di wilayah lain yang patut dipertimbangkan guna mencapai kehidupan yang seimbangan. Atas dasar keyakinan terhadap keberadaan makhluk supranatural (hantu) tersebut, masyarakat Jawa cenderung bersikap animistis—menganut paham animisme. Animisme merupakan manifestasi (perwujudan) sikap manusia terhadap makhluk supranatural.

Tremmel dalam bukunya yang berjudul Religion: What Is It? (1976) mengatakan bahwa animisme tergolong paham masyarakat primitif, bisa berbentuk personal ataupun kolektif. Intinya, seseorang yang berpaham animisme berarti memercayai adanya kekuatan roh yang menyebabkan terjadinya peristiwa tertentu. Selain itu, William A. Haviland dalam bukunya yang berjudul Antropologi Jilid 2 (1985) mengungkapkan, bahwa keyakinan terhadap makhluk supranatural adalah ciri perilaku agama.

Sehubungan dengan ungkapan Haviland tersebut, Suwardi Endraswara menambahkan bahwa keyakinan animisme sesungguhnya merupakan perilaku agama masa lalu. Pernyataan Suwardi itu berdasarkan adanya keyakinan orang Jawa tempo dulu terhadap dunia hantu yang dianggap sebagai salah satu bentuk tindakan religi.

Cara Mengatasi Takut
Pandangan adanya keterkaitan religiusitas seseorang dengan kepercayaan pada hantu tersebut selaras dengan penjelasan dalam Wikipedia.org yang memaparkan hampir semua umat manusia yang percaya Tuhan juga memercayai sosok hantu. Meskipun hanya sebagian kecil orang yang mengakui pernah melihat hantu secara langsung.

Kendati demikian, sebagian orang lainnya kerap memiliki perasaan takut terhadap hantu. Orang yang merasa takut terhadap hantu itu diistilahkan oleh Suwardi sebagai seseorang yang jiwanya masih lemah dan belum stabil. Oleh karena itu, Suwardi Endraswara dalam bukunya tersebut memberikan beberapa cara yang diyakini orang Jawa mampu mengusir rasa takut terhadap hantu.

Berikut ini ulasan selengkapnya:

  • Tak Lewati Tempat-Tempat Menakutkan
    Tidak melewati tempat-tempat yang sekiranya menakutkan adalah cara pertama mengusir pikiran dan perasaan takut terhadap penampakan hantu. Cara tersebut dinilai dapat menghindarkan diri dari hantu. Cara tersebut mungkin tak sepenuhnya efektif, karena orang Jawa berpendapat bahwa hantu dapat mengejar kita sampai manapun. Langkah preventif semacam itu terkadang justru berakibat sebaliknya.
  • Berteriak Sekeras-Kerasnya
    Cara kedua ini merupakan bentuk penolakan kehadiran hantu. Cara tersebut biasanya spontan dilakukan oleh seseorang ketika tanpa sengaja menjumpai sosok hantu. Teriakan dari kekuatan diri akibat rasa takut terhadap hantu itu disebut Suwardi sebagai histeria hantu. Jika histeria hantu ini terus dibiarkan, dapat berakibat fatal. Histeria hantu yang tidak ditangani dengan baik, berpotensi memicu gangguan pada syaraf otak manusia.
  • Memperkokoh Komunitas
    Orang Jawa meyakini bahwa dengan menjaga kebersamaan, misalnya melalui komunitas yang diikuti, dapat melenyapkan rasa takut dalam jiwa. Kebersamaan dalam komunitas akan menjadi obat penawar rasa takut. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan adanya perbedaan perasaan saat seseorang melewati kuburan atau bangunan kuno dengan sendirian dan bersama-sama. Biasanya, ketika dalam keadaan bersama-sama, keberanian cenderung tumbuh daripada sendirian. Itu artinya hantu juga mungkin takut pada kebersamaan. Kendati demikian, hantu tetap dapat mengganggu salah seorang dari komunitas itu, jika ia bersikap ganjil pada hantu yang ada.

Takut dari Pikiran
Walaupun telah memberi sejumlah cara meminimalisasi perasaan takut terhadap hantu, Suwardi Endraswara menegaskan, sejatinya perasaan takut hantu berasal dari pikiran kita saja. Pikiran kita sering termanipulasi oleh godaan hantu. Bayangan maya di pikiran, akan menyebabkan hantu mudah merambah ke syaraf otak.

Bayangan maya tantang sosok hantu tersebut dapat muncul dengan dua cara. Pertama, secara manifes, yakni melalui gambar atau bentuk menakutkan yang selalu diingat oleh seseorang tersebut. Dengan terus mengingat keseraman sosok hantu yang ditampilkan, akan membuat sebuah citraan hantu di pikiran. Kedua, secara laten, yakni berupa pikiran atau fantasi tentang hantu. Pikiran itulah yang pada akhirnya memicu keberadaan hantu.

Kendati demikian, selalu mendekatkan diri kepada Tuhan adalah salah satu cara terbaik untuk mengasah kestabilan pikiran dan jiwa kita, sehingga tidak mudah terusik oleh bayangan maya dari hantu. (Azizah/JIBI/Solopos.com)

 

BACA BERITA LAIN PERNIKAHAN MANUSIA DAN PERI:
Peri Setyowati Kini Mengandung Bayi Kembar Dampit dari Mbah Kodok
Inilah Prosesi Selamatan Bayi Kembar Dampit Anak Peri Ngawi
Inilah Pesan di Balik Prosesi Selamatan Bayi dari Pasangan Peri-Manusia Asal Ngawi

Peri, Makhluk Gaib Seperti Apakah Itu?

Manusia Nikahi Peri, Tidakkah Berbahaya?

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya