SOLOPOS.COM - Kendaraan melintas di ruas jalan rawan longsor jalur Pacitan-Ponorogo, wilayah Tegalombo, Pacitan, Jatim, Selasa (1/4/2014). Di jalur tersebut terdapat puluhan titik rawan longsor sehingga pengendara harus berhati-hati saat melintas. (JIBI/Solopos/Antara/Siswowidodo)

Longsor Pacitan dideteksi dipicu rusaknya vegetasi DAS Brungkal dan DAS Grindulu.

Madiunpos.com, PACITAN — Tim peneliti Universitas Gadjah Mada Yogyakarta memberi rekomendasi kepada Pemkab Pacitan, Jawa Timur untuk memperbaiki vegetasi tanaman di area hulu yang menjadi kawasan tangkapan hujan sehingga bencana tanah
longsor tidak terus terjadi di daerah tersebut.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

“Bencana tanah longsor yang selalu menghantui masyarakat di wilayah Kabupaten Pacitan, tidak lepas dari pengaruh area hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Brungkal maupun Grindulu,” ungkap tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Evita Pramudianti, di tengah gelaran Workshop Penanggulangan Risiko Bencana di Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pacitan, Rabu (28/10/2015).

Ia menjelaskan, kondisi kawasan tangkapan air pada bagian hulu yang beralih fungsi dan alterasi hidrotermal ikut mendorong terjadinya kerawanan itu. “Seperti di lahan sekitar pemandian air hangat di Kecamatan Arjosari,” ujarnya.

Dalam paparannya Evita menjelaskan adanya perbedaan kondisi area tangkapan di Kecamatan Nawangan tahun 1999 dan 2014. Dalam kurun waktu itu, telah terjadi banyak perubahan signifikan pada wilayah itu, karena luas lahan pertanian bertambah secara cepat. Belum lagi keberadaan saluran irigasi dan bangunan air pada area yang sama.

Padahal idealnya, kata dia, untuk wilayah tangkapan air vegetasi harus terjaga. Sebab vegetasi dapat menurunkan volume air larian (run off) yang menjadi faktor penyebab terjadinya erosi, mengikat partikel-partikel tanah dan menurunkan tingkat kelembaban tanah melalui proses evapotranspirasi yang pada gilirannya akan mengurangi potensi terjadinya tanah longsor.

“Kondisi air tanah juga ikut terpengaruh. Saat kami mengambil sampel tanah yang berwarna kemerahan, tercium bau karat. Hasil tes laboratorium mengindikasikan ada kandungan besi pada air,” paparnya.

Bagian Gunung Api
Terkait alterasi hidrotermal di kawasan lahan pemandian air hangat di Desa Karangrejo, lanjut dia, hal itu berkaitan dengan sejarah pembentukan kawasan itu sendiri. Menurut penjelasan Evita, pada masa tersier lokasi tersebut adalah salah satu bagian gunung api purba di Pulau Jawa.

Alterasi hidrotermal dapat meningkatkan proses pelapukan batuan secara cepat dalam kurun waktu 40 tahun hingga 50 tahun. Sampai sejauh ini, katanya, longsor lahan dalam skala besar belum pernah terjadi. Namun, adanya alterasi hidrotermal yang dicirikan dengan munculnya sumber mata air panas, mengakibatkan tanah-tanah di sekitar memiliki tanah dengan solum tebal dan meningkatkan bahaya longsor lahan.

“Tanah antara Desa Karangrejo sampai Pakisbaru (Nawangan) terlihat seperti batu. Tapi sebenarnya lempung (tanah liat),” ujarnya.

Mitigasi Bencana
Kepala Pelaksana BPBD Pacitan, Tri Mudjiharto, mengatakan kegiatan workshop tersebut merupakan bagian dari upaya mitigasi bencana, yakni dengan melakukan kajian risiko bencana tanah longsor sebagai dampak dari alterasi hidrotermal. Hasil dari workshop tersebut diharapkan bisa menjadi acuan atau rekomendasi bagi pihak-pihak terkait untuk dapat mengambil langkah-langkah untuk menyikapinya.

“Dari kajian tersebut akan diketahui apakah hidrotermal itu mempengaruhi tanah longsor di Kabupaten Pacitan atau tidak,” katanya.

 

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Madiun Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya