SOLOPOS.COM - Ilustrasi pesawat di Bandara Juanda Surabaya di Sidoarjo, Jawa Timur. (JIBI/Solopos/Antara/Eric Ireng)

Inflasi Jatim membukukan rekor baru dalam keprihatinan.

Madiunpos.com, SURABAYA — Daya beli warga Jawa Timur memasuki level rawan, setelah Surabaya di luar ekspektasi memecahkan salah satu rekor inflasi tertinggi di Pulau Jawa. Iklim negatif itu bahkan diprediksi memburuk pada bulan berikutnya.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Peringatan itu disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, yang mengumumkan inflasi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi terpesat kedua di Jawa itu secara tak terduga menembus 0,31% pada Maret 2015, jauh di atas level rata-rata inflasi nasional yang berada pada level 0,17%.

Ibu Kota Jatim, Surabaya, menorehkan angka kenaikan harga tertinggi, yaitu 0,36%, bahkan melampaui inflasi DKI Jakarta 0,19%, Semarang 0,25% dan Jogja 0,15%. Namun, level Surabaya itu masih lebih rendah dibandingkan dengan Bandung (0,61%) dan Serang (0,44%).

“Inflasi Surabaya agak lebih tinggi dibandingkan ibu kota provinsi lain di Jawa. Ini harus betul-betul dicermati. Padahal, [pada Maret 2015] tidak ada kebijakan baru yang terlalu mengejutkan, semua sudah diantisipasi,” kata Kepala BPS Jatim Sairi Hisbullah, Rabu (1/4/2015).

Lampu Kuning
Lonjakan inflasi yang melampaui praduga awal tersebut langsung diterjemahkan BPS sebagai lampu kuning bagi Pemprov Jatim. Sebab, pada Februari Jatim justru menorehkan deflasi cukup dalam (-0,52%) dan pada Januari inflasinya cukup rendah (0,20%).

Rupanya, sebut Sairi, ada fenomena di Jatim yang tidak dijumpai di provinsi lain. Provinsi dengan 38 kabupaten/kota itu memiliki ciri khas sentimen masyarakatnya yang lebih peka terhadap pergeseran harga bahan bakar minyak (BBM) dibandingkan daerah lain.

Sekadar catatan, kenaikan harga BBM senilai Rp200/liter saja akan menyumbang kenaikan inflasi sebesar 0,17 poin di Jatim. Sehingga, menurut prediksi BPS Jatim, saat harga BBM naik Rp500/liter pada akhir Maret, inflasi bisa langsung terkerek 0,30 poin bulan berikutnya.

Kekhasan Jatim
Dia menggambarkan kekhasan Jatim tercermin dari lonjakan harga makanan jadi yang berbanding terbalik dengan melorotnya harga jual bahan pangan mentah, seperti daging dan telur ayam ras, wortel, cabai, dan sebagainya.

“Pada Maret, harga bahan pangan pokok di Jatim deflasi 0,35%. Tim Pengendali Inflasi Daerah [TPID] Jatim terbukti berhasil mengendalikan harga. Namun, kinerjanya belum cukup maksimal karena penurunan harga pangan di tingkat nasional mencapai 0,73%.”

Sebaliknya, harga makanan jadi dan rokok kretek di Jatim terkerek 0,53%. Menurut pantauan BPS Jatim, kenaikan harga tertinggi terjadi pada soto dan nasi bungkus, yang merupakan dua jenis sajian terpopuler di Jatim berbahan baku daging dan telur ayam ras.

“Harga bahan baku turun, tapi setelah menjadi masakan malah melangit. Ada efek psikologis dari kenaikan harga BBM pada bulan lalu, terutama bagi pedagang soto. Inilah yang menjadi ciri khas Jatim,” ungkap Sairi.

Penyumbang Terbesar
Penyumbang inflasi terbesar di Jatim adalah sektor transportasi dan komunikasi (0,97%). Lainnya mencakup sektor kesehatan (0,48%) akibat kenaikan harga obat yang tidak besar tapi merata, serta perumahan, air dan listrik (0,30%) akibat kenaikan harga elpiji 3kg.

Terkait sumbangsih inflasi yang sangat tinggi dari sektor transportasi, BPS Jatim menjabarkan pemicu utamanya adalah kenaikan tarif angkutan udara dari Bandar Udara Internasional Juanda yang lebih tinggi dibandingkan tarif perjalanan dari bandara lain.

“Ini adalah ciri khas kedua dari Jatim, khususnya Surabaya. Selain efek psikologis terhadap kenaikan BBM yang lebih cepat dibanding provinsi lain, di Jatim juga selalu terjadi fenomena tingginya tarif angkutan udara yang lebih tinggi dari provinsi lain.”

Bisa Lebih Buruk
Menurut analisis BPS Jatim atas fenomena tersebut, tingginya tarif transportasi dari Bandara Juanda dipantik oleh membeludaknya permintaan akan rute perjalanan Juanda-Soekarno Hatta, bahkan pada hari-hari kerja normal atau bukan peak season.

Dia menambahkan TPID Jatim selama ini kesulitan mengendalikan tingginya harga tarif angkutan udara dari Juanda. Sebab, masalah harga tiket pesawat lebih terkait pada demand ketimbang suplai yang lebih mudah dikendalikan.

“Ini warning. Untuk saja bulan lalu ada penurunan tarif kereta api. Namun, hati-hati, efek kenaikan bensin per 28 Maret akan terasa pada April. Bisa-bisa kenaikan tarif kereta api pada April juga akan menyebabkan inflasi Jatim bulan depan lebih buruk,” ucapnya.

Bagaimanapun, Sairi menegaskan pemburukan inflasi Jatim yang menyebabkan penurunan daya beli masyarakat tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat konsumsi dan optimisme konsumen Jatim.

Kata Bank Indonesia
Sejala dengan itu, Bank Indonesia Kantor Wilayah IV Jatim mengungkapkan konsumsi rumah tangga Jatim masih tumbuh positif pada Maret. Meski demikian, pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan periode sebelumnya.

Deputi Kepala Perwakilan BI Jatim Syarifuddin Basara mengatakan tingkat pengeluaran rumah tangga pada bulan ketiga tahun ini berada pada level 114,8, turun 6,1 poin dari pembukuan Februari pada level 120,9.

“Melambatnya optimisme masyarakat didorong oleh turunnya keyakinan konsumen terhadap kondisi saat ini, maupun ekspektasi konsumen Jatim terhadap kondisi [pereonomian] enam bulan ke depan.”

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya