SOLOPOS.COM - Ilustrasi mebel untuk ekspor. (JIBI/Bisnis/Dok.)

Industri mebel kesulitan melakukan ekspor ke sebagian Negara karena buruknya sosialisasi terkait sertifikat kesehatan tumbuhan atau Phytosanitary certificate.

Madiunpos.com, SURABAYA – Balai Besar Karantina Surabaya menengarai pemahaman importir maupun eksportir terhadap regulasi karantina masih sangat minim terutama dalam menyiapkan sertifikat kesehatan tumbuhan atau Phytosanitary certificate bagi barang atau produk berbasis tumbuhan.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Kepala Balai Besar Karantina Surabaya Eliza Suryati Rusli mengatakan padahal hampir setiap negara menerapkan regulasi penyertaan surat kesehatan tumbuhan. Di Indonesia, katanya, bahkan sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan.

“Secara internasional, barang-barang dari kayu atau tumbuhan itu harus ada Phytosanitary, bahkan di Australia lebih ketat lagi ketika ada barang masuk ke sana. Jadi pemahaman tentang karantina ini masih sangat minim, padahal regulasinya sudah sejak 2002,” jelasnya saat ditemui wartawan di Kantor Balai Besar Karantina Surabaya, Senin (31/8/2015).

Dikeluhkan Pengusaha Mebel
Pernyataan tersebut menyusul adanya sejumlah pelaku usaha di industri mebel asal Jawa Timur yang mengalami hambatan dalam mengimpor barang contoh sebelum diproduksi di Jatim untuk dieskpor kembali ke Amerika Serikat, khusnya terkait kelengkapan dokumen sertifikat Phytosanitary.

Dia menjelaskan, meskipun jumlah barang produk industri mebel itu sedikit tetapi jika mengandung bahan dasar dari tumbuhan memang wajib menyertakan PC. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi aset negara dari serangan penyakit tumbuhan atau hama.

“Negara kita kan kaya dengan hutan, nah kalau ada barang kayu dari luar negeri yang masuk kemudian menyimpan hama di dalamnya seperti hama long horn bitten, nanti bisa menyerang kayu kita dan hancur. Sebenarnya ini bukan larangan impor tetapi harus ada jaminan kesehatan,” jelasnya.

1 x 24 Jam
Kepala Bidang Karantina Tumbuhan, Imam Djajadi menjelaskan pada umumnya setiap barang yang masuk ke Indonesia harus melewati tahapan di Bea Cukai yang di dalamnya terdapat sistem Indonesia National Single Window (INSW).  Setiap ada barang masuk, akan terdeteksi apakah barang tersebut wajib melewati karantina atau tidak.

“Jadi saat masuk portal INSW itu, sistem akan otomatis kalau itu barang wajib karantina. Kalau tidak wajib ya lolos,” katanya.

Setiap barang wajib karantina, lanjutnya, setidaknya membutuhkan waktu 1×24 jam pemeriksaan. Bila barang terindikasi adanya hama atau penyakit, maka akan dilakukan tindakan fumigasi (pengobatan hama).

“Kalau indikasi penyakit tidak bisa diobati maka tindakannya adalah pemusnahan atau barang dikembalikan ke negara asal,” jelasnya.

Sepanjang Januari-Agustus 2015, Balai Besar Karantina Surabaya telah mengeluarkan sertifikat kesehatan tumbuhan mencapai 13.000 surat untuk tujuan ekspor. Sedangkan untuk impor sudah menerima 11.000 sertifikat Phytosanitary. “Kebanyakan untuk ekspor ke negara Amerika Serikat, Eropa,  Asia dan Timur Tengah,” ujar Imam.

Sementara produk yang keluar masuk ke Jatim yakni kebanyakan produk-produk pertanian benih jagung, padi, bahan baku pakan ternak hingga bawang putih serta produk dari kayu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya