SOLOPOS.COM - Operasi Pasar Cadangan Beras Pemerintah di Kediri, Jumat (27/2/2015). (JIBI/Solopos/Antara/Rudi Mulya)

Harga kebutuhan pokok perlu diantisipasi pemerintah dengan menghemat dana untuk kelak melakukan operasi pasar.

Madiunpos.com, SURABAYA — Pemerintah Provinsi Jawa Timur didesak segera menyisihkan sebagian APBD-nya untuk mematahkan rantai siklus tahunan kenaikan harga kebutuhan pokok jelang Ramadan. Dana itu nantinya bisa dialokasikan untuk operasi pasar bahan pangan sehingga beban masyarakat pada bulan puasa itu akan lebih ringan.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Desakan itu disampaikan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jatim setelah memperhatikan beberapa komoditas di pasar Jatim mulai menampakkan tanda-tanda gejolak harga yang tidak wajar. Komoditas itu antara lain daging ayam ras, telur, bawang merah, serta tepung terigu.

“[Walau bagaimanapun], kenaikan harga berbagai komoditas ini sudah terpantau tim BI. Beberapa instansi pun sudah melakukan komitmennya untuk menjaga agar kenaikan harga bisa terkendali,” jelas Kepala BI Jatim Benny Siswanto, Rabu (27/5/2015).

Menurutnya, salah satu tantangan menjaga inflasi adalah terbatasnya kapasitas produksi dalam negeri, khususnya untuk produk pangan. Lahan pertanian di Jatim mulai menyusut karena beralih fungsi menjadi permukiman dan industri.

Tahun lalu, inflasi nasional berada pada level 8,36%, turun dari capaian 2013 sebesar 8,39%. Dengan menyisihkan APBD, bank sentral yakin Pemprov Jatim dapat membantu tugas tim pengendali inflasi daerah (TPID) mengeluarkan rakyat dari tekanan kenaikan harga barang.

3 Jalur
Di sisi lain, Guru Besar Universitas Brawijaya Malang Ahmad Erani Yustika memetakan tantangan pengendalian harga bahan pangan di Jatim ke dalam tiga kelompok, yaitu berdasarkan jalur distribusi, infrastruktur, dan inflasi.

“Jalur distribusi kita terlalu panjang. Akibatnya, margin di tingkat pedagang bisa sampai Rp6.500-Rp7.000/kg, padahal di tingkat petani hanya Rp3.600/kg. Seharusnya orientasi pengendalian harga juga memikirkan bagaimana produsen juga mendapat hak untung.”

Secara infrastrukutur, sementara itu, pemerintah daerah seharusnya memetakan pembangunan infrastukrtur mana yang bisa berfungsi sebagai penyempit disparitas harga antardaerah. Selama ini, pemprov terlalu berorientasi pada pembangunan industri.

Padahal, menurutnya, pembangunan infrastruktur seperti irigasi atau jembatan yang menghubungkan desa yang terisolasi dengan pusat perdagangan seharusnya lebih diprioritaskan.

Tergantung Beras
Dari segi pengendalian inflasi, Erani menilai tantangan terberatnya adalah tingkat ketergantungan masyarakat Jatim yang teramat tinggi terhadap komoditas beras. Rata-rata konsumsi beras per orang adalah 130 kg/tahun.

Padahal, di negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, atau Vietnam, rerata konsumsi beras per orang hanya 60 kg/tahun. “Harus ada diversifikasi pangan. Ketergantungan yang kelewat tinggi pada satu komoditas pasti akan membuat posisi kita terancam.”

Masalah lainnya, kata Erani, adalah kecenderungan masyarakat untuk mengonsumsi komoditas segar. Dia mencontohkan 90% masyarakat mengonsumsi cabai segar. Hal itu membuat stabilisasi harga menjadi sulit karena daya tahan produk segar yang rendah.

“Seandainya angka konsumsi cabai olahan bisa ditingkatkan, pengendalian pasokan akan menjadi lebih stabil, sehingga upaya untuk menjaga harga pangan menjadi lebih mudah. Belum lagi saat struktur permintaan sedang tinggi, seperti ketika Ramadan dan Idulfitri.”

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya