Solopos.com, LAMONGAN — Seorang guru berinisial EN menggunduli belasan siswi kelas IX SMPN 1 Sukodadi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Guru tersebut menggunduli belasan siswi itu karena mereka mengenakan jilbab tanpa ciput pada Rabu (23/8/2023).
Setelah kejadian itu, wali murid kemudian melakukan protes terhadap tindakan tersebut. Pada Kamis (24/8/2023), pihak sekolah menggelar mediasi antara wali murid dengan guru EN.
Atas tindakan semena-mena itu, guru EN saat ini telah mendapatkan sanksi berupa dibebastugaskan dan ditarik ke Dinas Pendidikan Lamongan. Guru EN juga tidak diperbolehkan mengajar di SMPN 1 Sukodari hingga waktu yang tidak ditentukan.
Atas tindakan guru tersebut, berbagai pihak memprotesnya, termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya juga mengecam keras aksi penggundulan yang dilakukan guru EN.
Atas tindakan guru tersebut, berbagai pihak memprotesnya, termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya juga mengecam keras aksi penggundulan yang dilakukan guru EN.
Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye LBH Surabaya, Habibus Shalihin, mengatakan kasus ini perlu dicermati bahwa salah satu perwujudan prinsip hak untuk hidup dan berkembang bagi anak adalah setiap anak dalam memperoleh hak atas pendidikan termasuk ketika anak berada di dalam lingkungan satuan pendidikan agar terhindar dari tindak kekerasan fisik maupun psikis.
Tindakan kekerasan itu berpotensi dilakukan elemen-elemen yang ada di lingkungan sekolah seperti pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan pihak lain.
Padahal, menurut dia, seharusnya lingkungan sekolah menjadi ruang aman bagi anak untuk mendapatkan penikmatan atas hak pendidikan.
Shalihin menyampaikan kasus ini juga perlu dipahami bersama bahwa tindakan EN yang menggunduli rambut bagian depan siswi itu termasuk ke dalam bentuk kekerasan. Kejadian ini justru mencoreng martabat kemanusiaan anak.
“Bukan tidak mungkin EN itu telah melanggar Pasal 76C UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berisi setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak,” jelas dia.
Kekerasan yang dimaksud dalam UU Perlindungan Anak, terang Shalihin, adalah setiap perbuahan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantarana. Termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
LBH Surabaya menekankan bahwa atribut ciput bagis siswi SMP berjilbab bukan menjadi bagian dari pakaian seragam sekolah berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI Nomor 50/2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Untuk itu, pemaksaan penggunaan ciput yang dilakukan guru EN termasuk dalam kategori tindakan intoleransi, karena memaksa siswi mengenakan pakaian atau aksesoris yang tidak termasuk seragam sekolah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Atas kejadian itu, LBH Surabaya menyatakan sikap: